WARTA MALUT NEWS — Perusahaan Pertambangan PT Priven Lestari yang rencananya melakukan kegiatan eksplorasi di Buli, Halmahera Timur, kandas, karena harus berurusan dengan warga yang bersikeras menolak, dan melakukan perlawanan.
Akibatnya PT Priven Lestari yang mendapat rekomendasi arahan penyesuaian areal lUP seluas 4.953 hektar, terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Timur tahun 2010-2029, harus angkat kaki dari wilayah Halmahera Timur, Maluku Utara.
Sebab, Rekomendasi yang diterbitkan tahun 2018, itu dinilai tabrak aturan, lantaran bertentangan dengan Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2010-2029, dimana pada Pasal 14 point (9) huruf (c), dijelaskan bahwa areal konsesi PT Priven Lestari terdapat sumber mata air yang ditetapkan sebagai pengembangan sumber daya air bersih untuk perkotaan Buli.
Sementara dalam pasal 16-22, Rencana Pola Ruang Kabupaten Halmahera Timur, terdiri dari Kawasan Lindung dan Budidaya. Kawasan lindung terdiri atas; Hutan lindung, Perlindungan setempat; dan Suaka alam. Sementara, letak peta IUP PT. Priven berada pada kawasan lindung, di antaranya; hutan lindung, sumber mata air, kawasan longsor dan banjir.
Meski begitu, perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Buli itu berpeluang untuk kembali beroperasi.
Pasalnya, keberadaan PT Priven Lestari ini karena adanya rekomendasi arahan penyesuaian areal lUP PT Priven Lestari seluas 4.953 hektar itu diterbitkan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Ricky Chairul Richfat, yang kini menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Halmahera Timur.
Sekadar diketahui, Halmahera Timur sudah mengoleksi 27 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi mencapai 172.901,95 hektar. Jika ditambah kehadiran PT Priven Lestari dengan luas konsesi 4.953 hektar itu, maka nasib masyarakat di Kecamatan Maba dengan jumlah penduduk 13.195 jiwa dari 10 desa bakal terancam.
Untuk itu upaya masyarakat Buli mempertahankan keberadaan Gunung Wato-wato bukan tanpa alasan. Sebab belum lama ini keinginan masyarakat untuk mempertahankan Gunung Watowato tak pernah direspon Pemda Haltim. Pemerintahan ubaid-anjas kala itu terkesan tak mau ambil pusing dengan aspirasi masyarakat. Padahal hal itu menjadi kewenangan Pemerintah daerah bila mana bertentangan dengan aspirasi masyarakat serta untuk kepentingan hajat hidup dan nasib masyarakat Halmahera Timur.
Berbekal semangat solidaritas masyarakat peduli Haltim, sejumlah Ormas dan LSM peduli lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Aliansi Masyarakat Peduli Wato-wato, seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Forest Watch Indonesia, dan sejumlah organisasi ekstra mahasiswa Maluku Utara harus berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan nasib masyarakat Halmahera Timur.
Mereka mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, mengevaluasi izin perusahaan karena rawan merusak lingkungan dan tak mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Masyarakat juga menuntut pencabutan izin konsesi perusahaan nikel di Halmahera Timur ke Kementerian ESDM.
“Tidak mungkin kita berharap pemerintah dibawa kepemimpinan ubaid anjas, karena mereka juga bagian dari masalah ini,” ungkap Salim, salah satu warga Buli, Halmahera Timur, Minggu (20/10/2024).
Menurutnya, setelah di cermati visi misi dan gagasan Paslon bupati dan wakil bupati Halmahera Timur Farrel Jadi sebagai solusi alternatif untuk mewujudkan harapan masyarakat Haltim.
Lebih lanjut, Salim berkata, sebagai putra terbaik Halmahera Timur, hanya Farrel dan H.Tono yang bisa memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah sosial yang menjadi beban berat pemerintahan ubaid-anjas.
“Hanya Farrel Jadi yang bisa dijadikan tumpuan harapan masyarakat saat ini untuk mewujudkan Halmahera Timur yang adil,” pungkasnya. (tim/dmc)